Demam ‘pengabdian’ dan ‘kepemimpinan’

Demam ‘pengabdian’ dan ‘kepemimpinan’

Mengabdi dan pemimpin, dua kata ini sedang ‘booming’ dan ‘menggerayangi’ pemikiran saya, dan kelihatannya teman-teman sejawat (baca:angkatan2009) saya. Kalau di SMA, dua kata ini tampaknya santer terdengar pada teinga teman-teman yang aktif di organisasi. Tetapi, atas peran program pembinaan dan kaderisasi yang luar biasa di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dua kata ini rata ter-injeksi ke pemikiran-pemikiran mahasiswa, bahkan yang belum aktif berorganisasi.

Bagaimana ini terjadi ? Menurut saya, begini.

Ya, lihat saja Centromere. Walaupun teori psikologis menyatakan bahwa tekanan dengan gertakan dapat menstimulasi rasa memiliki dan kebersamaan, Centromere meyakini kedewasaan pesertanya. Keyakinan ini, menurut saya, secara tidak langsung memicu kedewasaan dari diri yang bahkan sama sekali belum dewasa. Dan dengan metode ini, Centromere berusaha menanamkan banyak nilai-nilai yang tidak biasa, yang tidak ditemukan bila kamu hidup tanpa pemikiran ekstra yang lebih MENGGALI ditambah filosofi yang MENGIGIT.

Nah, disinilah letak starting point nya.

Calon mahasiswa mulai dapat memaknai beberapa aspek di hidupnya secara lebih dalam, jadi selain mendapat inspirasi luar biasa, mahasiswa pun semakin terstimulasi untuk menemukan makna-makna lain dalam hidup setelah mengetahui ada ‘hal semacam itu’ di dunia ini (ini pemikiran orang awam seperti saya) . Disinilah peran penting Centromere sebagai Inisiator . Di poin ini-lah kata kepemimpinan mulai memasuki dan intens ‘menggerayangi’ pemikiran saya. Tapi belum sepenuhnya saya pahami, karena saya berpikir, saya menganggap  ini penting karena sugesti . Ya, karena saking seringnya disebut di materi , ini menjadi semacam hal yang penting . Sugesti .

Dilanjutkan dengan apa ??

Ya, MABIM.

Materi mabim lebih ‘organisasi’ dari centromere. Disini, yang saya tangkap, banyak penekanan pentingnya kontribusi kita ke lingkungan sekitar, yang sering disebut pengabdian.  Dan juga sering disebut kepemimpinan disini. Walaupun pada dasarnya MABIM adalah program pembinaan yang materinya berisikan persiapan-persiapan organisatoris. Jadi, sekali lagi, walaupun tidak diberikan definisi dan pendalaman yang jelas mengenai pengabdian dan kepemimpinan disini, kami peserta MABIM, tersugesti untuk apa yang disebut mengabdi dan memimpin, karena kedua hal ini sangat sering disebut di rangkaian materi. Sekali lagi, ini pendapat saya, dan yang saya terima.

Jadi apa intinya ?

Intinya, selama beberapa waktu, pengabdian dan kepemimpinan adalah suatu hal semu yang ‘keren’, yang tidak dipahami secara komprehensif, intensif, dan mendalam, tapi menjadi suatu hal yang ‘saya harus dan akan seperti ini’ karena sugesti.

Ya, menjadi sugesti karena sering disebut di rangkaian acara pembinaan. Walaupun saya yakin panitia sudah memenuhi betul apa makna kedua kata itu, tapi yang saya terima di beberapa waktu pertama, tetap, bukan pemahaman, tapi sugesti.

Jadi, karena sugesti inilah, selama beberapa waktu pula, di pikiran saya berkutat, sayalah pengabdi, mahasiswa yang superior itu. Mahasiswa yang memberikan banyak manfaat pada lingkungan sekitarnya. Dan saya juga harus jadi pemimpin, apapun definisi pemimpin, bahkan mungkin hanya karena itu keren, dan lebih hina-nya lagi, karena memimpin = amanah = jabatan.

Tapi, seiring berjalannya waktu, semakin saya sadari betapa naïf-nya saya .

Di pikiran saya terus bergulir kata mengabdi dan memimpin .

Tapi belum ada tindakan berarti kesana, bahkan tinjauan pikir yang lebih ke arah itu.

Jadi , apa sih pengabdian dan kepemimpinan itu ?

Pengabdian. Menurut saya, kata pengabdian atau kontribusi sekalipun,berada di level yang terlalu atas untuk diberikan sebagai materi pembuka. Materi pembuka yang diberikan pada mahasiswa yang sebagian belum berpengalaman berorganisasi (saya contohnya). Kedua kata ini terlalu abstrak untuk dihayati. Mengabdi dan kontribusi pasti akan terbayangkan sebagai tindakan yang sudah luar biasa partisipatif dan suportif pada sesuatu. Tidak akan terbayang sebagai suatu tindakan sederhana (yang walaupun partisipasi dan suportnya kecil, sudah bisa dikatakan kontribusi). Keluarbiasaan inilah yang malah menghambat penyerapan esensi-nya. Karena kita, mahasiswa baru, akan memulai semuanya dari 0 (baca:ENOL). Tapi saya maklum, karena materi ini diberikan akang2-teteh2 yang sudah sangat berpengalaman di organisasi. Jadi jangkau fikirnya sudah agak jauh, terutama dengan orang buta organisasi seperti saya.

Kata berkarya menurut saya kata yang terbaik untuk menjelaskan semua ini ^^ .

Ya, berkarya. Kata berkarya akan diilustrasikan sebagai tindakan sekecil apapun yang memberikan manfaat. Walaupun sebenarnya pengabdian-kontribusi-berkarya berada dalam satu jalur. Tapi, mari kita pakai analogi .

Kita, mahasiswa baru, adalah atlit angkat besi pemula . Pengabdian adalah beban 100kg , kontribusi adalah beban 80kg , dan berkarya adalah beban 30kg .

Intinya sama , mereka semua adalah beban. Tapi yang mana yang paling mudah diangkat si atlit pemula? Tentu saja yang 30kg. Mungkin sekarang mereka belum bisa mengangkat beban 100kg, tapi suatu saat mereka pasti bisa, dengan terlebih dahulu latihan dengan beban yang lebih ringan .

Ya, kira-kira seperti itu analoginya. Jadi walaupun esensinya sama, perlu tingkat-tingkat penerimaan yang sesuai diantara beban-beban itu, supaya si pengangkat beban akhirnya bisa mengangkat beban terberat dengan sempurna .

Lalu, kepemimpinan.

Kalau yang satu ini, bukan masalah pemilihan kata yang tepat, tapi pencarian makna yang tepat.

Untuk kata yang satu ini, banyak definisi dari orang-orang terkenal, tapi saya belum puas. Seolah-olah ada yang harus saya temukan di satu kata ini.

Ada yang bilang ‘kepemimpinan adalah masalah pengaruh, tak kurang tak lebih’ . Apakah ini benar ya ? Is it that simple ? Cuman pengaruh ?

Setelah beberapa lama mencari, akhirnya stuck juga. Saya berpikir, yasudahlah, apa arti sebuah kata, yang penting saya sekarang fokus mengembangkan diri, melatih skill dan kepercayaan diri, sehingga nantinya bisa mengarahkan apa-apa yang diamanahkan oleh saya ke arah yang lebih baik. Dan apa-apa yang saya pimpin bisa menyukai saya, menghormati saya, bukan mengikuti saya karena takut dan terpaksa.

Itulah definisi praktis saya mengenai kepemimpinan.

Sampai suatu saat, saya membuka salah satu buku lama saya.

Ceritanya, bagaimana proses pemilihan khalifah selanjutnya, setelah Rasulullah SAW wafat.

Orang-orang berkumpul untuk menentukan siapa khalifah selanjutnya. Akhirnya diputuskan Abu bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah selanjutnya, walaupun tak didukung oleh seluruh partisipan. Ada yang menganggap Ali lebih pantas. Setelah terpilih jadi khalifah, Abu bakar memberikan pidato perdananya .

Kutipan pidato berikut langsung disalin dari buku Lost History karya Michael Hamilton Morgan.

‘O men! Here I have been assigned the job of being a ruler over you while I am not the best among you. If I do well in my job, help me. If I do wrong, redress me. Truthfulness is fidelity, and lying is treason. The weak shall be strong in my eyes until I restore to them their lost rights, and the strong shall be weak in my eye until I have restored the rights the weak from them ‘

Ternyata, Islam memang sempurna.

Jauh-jauh saya mencari makna kepempinan yang memuaskan fikir saya ke orang-orang barat sana, filosofis yunani disana, tapi tetap jawaban terbaik saya temukan dari sahabat Rasulullah SAW, penganut muslim yang taat ^^

Ya, ternyata itulah yang melambangkan kepemimpinan, bukan sekedar pengaruh. Pemimpin tak harus yang terbaik dari kelompoknya. Pemimpin sejati adalah yang meminta bantuan kelompoknya untuk meluruskannya. Kepemimpinan sejati adalah jiwa dimana kita ingin memberi keadilan yang terbaik bagi kelompok kita, ada CINTA disana. Jadi, bukan hanya pengaruh. Tapi CINTA . Unsur kepemimpinan sejati yang vital adalah CINTA.

Mungkin tulisan ini bagi sebagian orang kurang bermakna, dan ‘ga penting’. Tapi, bagi orang seperti saya yang akan mencoba meniti karir keorganisasian, makna dua kata ini begitu penting untuk diresapi. Karena disinilah semua berawal. Disini fondasinya. Semegah apapun bangunan yang kelak kita buat, akan goyah tanpa fondasi yang kokoh. Semoga semua bermanfaat. Semoga dengan tulisan ini kita sama-sama menyadari, pentingnya DETAIL dalam berkarya, dalam memimpin. Pentingnya makna sebuah kata dimana kita akan aktif didalamnya, kita resapi, supaya yang kita perjuangkan kedepannya beresensi, bermakna, dan bermanfaat.

Wallahu’alam. Alhamdulillah. Semoga bermanfaat.

~ by Poundra Adhisatya Pratama on 31/01/2010.

2 Responses to “Demam ‘pengabdian’ dan ‘kepemimpinan’”

  1. ponpon, sedikit komentar tentang yang mengabdi. hehe. kenapa kamu mikir mengabdi sejauh itu pon? coba deh, ketika kamu makan dan tidur, itu mengabdi bukan? ketika kamu beribadah itu mengbdi ga? ketika kamu menuruti apa yang disuruh sama orang tua itu mengabdi bukan? hehe mungkin disini ni yang harus diluruskan tentang konsep pengabdian. karena buat saya, pengabdian itu memberi, tanpa saya merasa kehilangan. justru ada yang bertambah saat saya mengabdi. makan, tidur, beribadah itu juga mengabdi ko.karena pengabdian itu bertahap dan di setiap tahapnya ada pelajaran dan ‘perluasan hati’ yang harus diambil untuk sampai ke tingkat yang selanjutnya. pengabdian ga berarti harus melakukan sesuatu yang besar ko 🙂

    • hei desto . iya bener sepakat, tulisan ini tu representasi isi kepala saya dulu, waktu ‘pengabdian’ itu sering banget disebut di proses kaderisasi kampus kita. saya berpendapat, pengabdian yang selalu disampaikan waktu itu adalah bentuk pengabdian kaya gini (bukan hal-hal simpel yang kamu sebutin tadi). Entah ini maksud sebenarnya dari penyampaian itu atau bukan, yang jelas ini yang kepikiran di kepala saya waktu itu ^^

      setelah dijalani, pengabdian tu kembali lagi ke niat sih, sekecil apapun partisipasi kita 🙂

Leave a reply to Poundra Adhisatya Pratama Cancel reply