” Belajar dari Dua Umar “

•14/03/2010 • Leave a Comment

Selepas membaca buku “ Belajar dari Dua Umar “ atas perintah mentor saya, saya mendapat beberapa pencerahan dan tambahan rasa kagum terhadap Islam, khususnya terkait hal kepemimpinan.

Seperti curcol saya di posting-an blog sebelumnya mengenai demam ‘kepemimpinan’ di beberapa sejawat, lagi-lagi kebesaran Islam memuaskan dahaga saya akan pengetahuan yang hakiki tentang kepemimpinan. Bukan dari filsuf Yunani itu. Bukan dari kaisar-kaisar itu. Bukan dari Napolleon. Bukan dari orang-orang yang definisi kepemimpinannya sering disebutkan di pelatihan-pelatihan keorganisasian. Tapi ini Islam bung, rahmatan lil’alamin, dengan Rasul dan khalifah-khalifah sesudahnya. Subhanallah 😀

Kira-kira begini yang saya lahap dari buku ini.

—————————————————————————————————————————————-

Pertama-pertama, haruslah kita ketahui betapa dua umar, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, telah menelurkan pelajaran berupa tiga nilai kepemimpinan yang sederhana, tapi memang ‘pemimpin banget’ kalo diimplementasikan, yaitu kesederhanaan, keteladanan, dan al-itsar.

Kesederhanaan. Kesederhanaan menjadi penting saat ini, karena memang kondisi ekonomi yang tak merata di masyarakat terlanjur menjadi kenyataan. Pemimpin yang sederhana, yang tak gila oleh gelimang harta karena jabatannya, minimal dapat mengerti apa yang rakyat “termiskin”-nya rasakan, sehingga dalam menjalani amanahnya, si pemimpin akan bertindak adil dan peduli. Selain itu, kesederhanaan seorang pemimpin akan menjaganya dari penyimpangan niat atas amanahnya, apalagi terkait harta dan kekuasaan. Dan niscaya, pemimpin yang sederhana akan dicintai pengikutnya, sehingga dalam menjalani kepemimpinannya si pemimpin akan sangat dimudahkan, karena yang dipimpinnya mencintainya, subhanallah 😀

Keteladanan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menyeru pada kebaikan. dan cara terbaik untuk menyerukan kebaikan adalah dengan melakukannya. Penyeru kebaikan harus jadi orang pertama yang melakukan kebaikan itu. Mungkin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan saat ini, salah satunya, adalah kurangnya keteladanan dari para pemimpinnya.

Al-itsar. Al-itsar atau mendahulukan kepentingan orang lain, ini pemimpin ‘pisan’. Dikisahkan, sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Khattab sering ‘sidak’ malam-malam untuk memastikan bahwa rakyatnya dalam keadaan aman, berkecukupan, dan taat. Ini salah satu bentuk al-itsar, karena khalifah Umar lebih mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang keperluan istirahatnya.

Dikisahkan pula , suatu ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan di masa pemerintahan Umar bin Khaththab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Sang gubernur menerima makanan itu, makanan bernama habish yang terbuat dari minyak samin dan kurma. Saat mencicipinya, sang Gubernur menyunggingkan senyum seraya berkata “Subhanallah!, betapa enak makanan ini, tentulah kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab  di Madinah, dia akan senang,” Kemudian, dikirimlah makanan itu ke khalifah Umar. Setelah sampai, Umar menananyakan nama makanan ini dan memastikan apakah makanan ini telah bisa dinikmati semua rakyat Azerbaijan. Saat utusan Gubernur berkata bahwa tidak semua rakyat Azerbaijan bisa memakannya, wajah khalifah Umar memerah seraya memerintahkan kedua utusan itu kembali ke negerinya, dan dia menulis ,”…Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu” .

Kalimat terakhir luar biasa yaa. Kalimat terkahir menunjukkan betapa harusnya pemimpin harus mengutamakan siapa-siapa yang dipimpinnya. Bukan sekedar pemimpin struktural yang berwewenang, tapi pemimpin sejati idealnya merasakan apa yang rakyatnya rasakan, bahkan mendahulukan rakyatnya. Yang penting rakyat senang, asal masih dalam batas yang tak melenceng dari agama.

Sifat zuhud keduanya pun luar biasa. Umar bin Abdul Aziz menolak kendaraan mewah untuknya, dan memilih menunggangi keledai tunggangannya selama ini. Beliau pun memilih menolak pengawalan ekstra untuknya. Mungkin zuhud dan kesederhanaan inilah yang membuat mereka dekat dengan rakyat. Kedekatan ini akan membuat mereka mencintai rakyatnya, dan akan merasakan penderitaan mereka. Rasa ini yang akan melipatgandakan semangat juang untuk memimpin dengan baik, sehingga mereka dicintai rakyatnya.

Selain tiga nilai dasar di atas, buku ini juga menyuguhkan karakter-karakter kepemimpinan yang sederhana tapi penting. Karakter-karakter kepemimpinan yang memang saat ini dibutuhkan. Disaat situasi sedang labil, saat perbedaan ada diimana-mana, saat pemerintah tak lagi menyentuh hati rakyatnya, saat pemimpin terlalu mendewakan kekuasaan.

Pertama, menentukan sikap. Dikisahkan tentang mimpi Rasulullah menjelang perang Uhud, firasat bahwa kaum Muslimin seharusnya bertahan di dalam Madinah. Tetapi saat musyawarah, para sahabat menginginkan kaum muslimin melawan kaum musyrikin ke luar Madinah. Karena keputusan syuro berkeduduka tertinggi, Rasulullah SAW menyetujui pendapat bahwa kaum Muslimin akan menyerang ke luar, merelakan pendapat-nya sendiri. Setelah shalat Ashar, beliau memasuki rumahnya, memakai sorban dan baju perang. Tetapi, masalah baru muncul, beberapa ahabat merasa bersalah telah membuat Rasulullah merelakan pendapatnya dikalahkan oleh keputusan syuro. Tapi, dengan tegas Rasulullah menyatakan “Seorang nabi jika sudah mengenakan baju besi, maka ia tak patut melepaskannya, sampai Allah meberi keputusan antara dia dan musuhnya”. Dan akhirnya kaum muslimin pun berangkat, meski mengalami kekalahan.

Kisah di atas kurang-lebih menggambarkan pentingnya karakter seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus konsisten pada keputusan yang dia ambil, selama proses pengambilan keputusan tidak melenceng dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari hasil apa yang akan diperoleh, terlepas dari ideal/tidaknya keputusan yang diambil, konsistensi seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan nampaknya penting. Pertama, penting untuk kejelasan arah komando, sehingga apapun keputusan yang diambil, semua akan melaksanakan sepenuh hati dan fokus karena tak terjadi perubahan dan kebimbangan yang meluas. Kedua, penting untuk pencitraan pemimpin di mata rakyat-nya. Walaupun terkesan permukaan, tapi tak dapat dipungkiri pencitraan memang penting, karena pemimpin yang dicintai dan disuport rakyatnya akan jauh lebih mudah menularkan pengaruh dan melaksanakan amanah mereka. Tapi memang, perlu ada pertimbangan yang ekstra ya akan suatu keputusan ? Di cerita ini, jelas, Rasulullah memilih menyerang ke luar Madinah karena itu keputusan syuro, keputusan dengan kedudukan tertinggi. Semua akibatnya akan ditanggung bersama, tapi yang penting kaum Muslimin melaksanakannya dengan sepenuh hati karena buah keteguhan Rasulullah dalam mengambil keputusan. Kalaupun perubahan keputusan harus terpaksa dilakukan, harus ada penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai perubahan itu. Jadi, intinya, dari awal pemimpin harus menjalankan proses pengambilan keputusan  yang dapat  dipertanggungjawabkan, lalu dilanjutkan dengan keyakinan dan keteguhan atas keputusan yang telah diambil itu, bukan mencari pembenaran bila ada kesalahan, tapi teguh atas pertimbangan faktual yang ada.

Kedua, piawai mengelola perbedaan. Dikisahkan, ketika menghadapi 70 tawanan perang Badar, Rasulullah dan sahabat berbeda pendapat tentang apa yang akan dilakukan kepada tawanan-tawanan itu. Abu Bakar ash-Shiddiq berpendapat, tawanan itu dibebaskan dengan pembayaran uang tebusan dari keluarganya, dan pendapat ini didukung mayoritas sahabat. Umar bin Khaththab tak setuju, beliau menginginkan tawanan dipancung untuk menunjukkan pada Allah SWT bahwa mereka tidak menaruh belas kasihan pada gembong-gembong kaum musyrikin. Pada akhirnya, karena rasa belas kasihan Rasulullah, tawanan dibebaskan dengan tebusan 1000-4000 ribu dirham, dan yang tak mampu diwajibkan mengajar membaca dan menulis pada 10 pemuda Madinah.  Tentu saja keputusan ini tak didasarkan pada kegilaan materi , tapi lebih ke belas kasihan dan atas dasar ijtihad Rasulullah dengan sahabatnya, terutama melihat keadaan sahabatnya yang serba kekurangan, walaupun akhirnya hikmah ilaiyah menegur Rasulullah atas keputusannya (Q.S al-Anfal:67-68). Tegurannya bukan melarang rasa belas kasihan, tapi mencegah munculnya kecenderungan mengejar harta.

Walaupun banyak nilai yang bisa diambil, tapi yang saya garis-bawahi adalah kemampuan Rasulullah memberikan solusi atas perbedaan pendapat yang sangat timpang, terutama pendapat itu dikeluarkan oleh dua sahabat terdekat Rasulullah, dan pendapat keduanya bisa dibilang tak salah. Sekali lagi, dengan menggunakan proses pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan lewat ijtihad, dan dengan terus memegang prinsip kebaikan, Rasulullah mengambil keputusan yang baik bagi semua, disetujui oleh semua, bahkan oleh Umar yang keras dan tegas.

Nyatanya, perbedaan pendapat pasti selalu ada di suatu forum, kelompok, organisasi, angkatan, bahkan parlemen. Pemimpin-lah yang berkewajiban me-moderator-i itu. Pemimpin-lah yang bertugas memastikan majelis memutuskan hal yang terbaik bagi semuanya. Dan walaupun sulit, idealnya, keputusan yang diambil akan disetujui penuh bahkan oleh pihak yang semula menentangnya. Hmm, kalau bicara masalah teknis saya kurang tau ya, pengalaman saya sangat kurang. Yang jelas, menurut saya, prinsipnya adalah lagi-lagi musyawarah dan pencitraan. Dalam pengambilan keputusan, masing-masing pihak harus bisa melepaskan ego-nya untuk mendengarkan pendapat lain, untuk menerima kelebihan pendapat lain, dan akhirnya mau saling membuka hati untuk bermusyawarah. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi ? Disini pencitraan pemimpin penting berperan. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin bijaksana yang memang terlihat bijaksana di hadapan majelis-nya, seperti Rasulullah. Apakah hati Umar yang tegas akan luluh bila pemimpin musyawarah bukan Rasulullah memang pendapatnya yang terbaik dan dipandang terbaik oleh Umar sendiri ? Saya rasa tidak. Pemimpin bagaimanapun memerlukan wibawa itu, memerlukan respek itu, dan memerlukan kebijaksanaan itu. Susahnya yaa jadi pemimpin hebat ? . Memang iya . Dan untuk mencari teladan-nya, ga usah jauh-jauh ke Eropa atau Yunani, Rasul kita sendiri contoh terbaiknya, bung.

—————————————————————————————————————————————–

Nilai kepemimpinan Rasulullah SAW beserta para sahabat memang teladan yang luar biasa. Bisakah kita mendekati atau bahkan menjadi seperti itu ? Walaupun sulit, sudah sepantasnya tiap dari kita bermimpi menjadi seperti itu. Tapi ingat sahabat, mimpi bukan hanya bisa mengobarkan semangat, tapi juga bisa menyeret kita ke jurang kemudharatan.

Dikisahkan pada suatu waktu menjelang perang Ahzab, penggalian parit terpaksa dihentikan karena terhadang oleh batu yang sangat besar. Berkali-kali sahabat menghantamkan lembing, tetapi gagal. Tapi batu itu harus dihancurkan, karena dapat menganggu pembangunan bentng yang akan melindungi kaum Muslimin dari ancaman pasukan Musyrikin. Rasulullah SAW pun datang setelah dipanggil beberapa sahabat, dengan membawa beliung. Dan setelah membaca basmalah beliau menghantamkan pukulan pertama. “Allahuakbar! Aku diberi kunci pembuka negeri Syam. Demi Allah, aku melihat istananya yang merah,” ujar Rasulullah. Lalu, Rasulullah SAW menghantamkan pukulan kedua. “Allahu Akbar! Aku diberi negeri Persia. Demi Allah, aku melihat istananya yang putih,” ujar Rasulullah lagi. Lalu, beliau menghantamkan pukulan ketiga. “Allahu Akbar! Aku diberi kunci negeri Yaman. Demi Allah, aku enar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini. Aku diberitahu Jibril bahwa umatku akan menguasai semuanya. Sampaikan berita inni kepada yang lain,” ujar Rasulullah SAW kepada sahabat.

Apa artinya ? Cita-cita memang penting, kita harus bermimpi setinggi mungkin. Lihat saja Rasulullah, beliau meneriakkan bahwa  Muslim suatu saat akan meruntuhkan Persia dan Romawi supaya teriakan itu terpatri di benak kaum muslimin, untuk menjadi mimpi mereka, untuk menjadi pengobar semangat mereka. Tapi mereka tak melupakan langkah konkrit kecil  untuk mencapai  semua itu, dibalik semua mimpi besar yang terucap, mereka terus menggali parit untuk membuat benteng perlindungan dari seranga paukan Ahzab. Dibalik semua mimpi besar di masa depan itu, mereka tak lupa melaksanakan langkah-langkah konkret kecil untuk saat ini.

Dan jangan lupakan apa yang Imam Maliki katakan, al-‘Ilmu yu’ta ilaihi wa la ya’ti (ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi) . Terus semangat mencari ilmu untuk menggapai keteladanan itu kawan. Terus tanpa lelah merasa bodoh dan mencari  tahu tentang keteladanan itu.

Cerita sebuah keteladanan memang kerap membuat semangat kita menggebu-gebu untuk menjadi seperti-nya. Tetapi juga kerap  membuat kita terlalu asyik mengagumi-nya, sehingga lupa untuk berbuat sesuatu supaya kita bisa menggapai keteladanan itu. Semoga kita bukan termasuk orang  yang lalai, Amin .

Semoga bermanfaat.

Demonstrasi : Sedikit unek-unek yang dangkal

•05/02/2010 • 1 Comment

Definisi demonstrasi atau unjuk rasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal.

Akhir-akhir ini di Indonesia, demonstrasi begitu marak dan mudah terjadi untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap sikap dan kebijakan pemerintah. Protes-nya sendiri mengkritisi pemerintah dalam banyak hal, seperti kebijakan yang dinilai tak adil, janji-janji program yang belum bisa direalisasi, bahkan sampai penanganan suatu kasus krusial. Unjuk rasa atau demonstrasi sendiri bahkan bisa menuntut pelaksanaan hal-hal ekstrim, seperti pemakzulan presiden *wow*

Saya bukan orang yang anti unjuk-rasa. Unjuk rasa adalah hal penting sebagai  ‘guardian’ wewenang berlebih dari pemerintah. Unjuk rasa penting untuk menstimulasi kesadaran masyarakat agar kritis terhadap segala bentuk aktivitas kenegaraan. Unjuk rasa penting untuk menyulut reaksi ‘massive’ terhadap aksi-aksi atau gerakan perbaikan lain yang akan mendukung terlaksananya kehidupan kenegaraan yang ideal. Benar, unjuk rasa penting akan hal itu.

Tetapi perlu diingat, hanya unjuk rasa ideal yang akan berdampak se’indah’ itu. Unjuk rasa dimana semua partisipan telah paham secara mendalam dan komprehensif mengenai apa-apa yang dituntutnya. Unjuk rasa dimana semua partisipan mengerti mekanisme hukum, sehingga menuntut keadilan yang FAKTUAL akan sesuatu. Unjuk rasa dimana semua partisipan berniat tulus untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan kepentingan golongan. Unjuk rasa dimana semua partisipan mempunyai satu visi yang jelas akan apa yang diperjuangkannya.

Memang, ada unjuk rasa yang tidak ‘ideal’ seperti itu ? Percayalah, ada.

Saya sempat berdiskusi dengan kerabat yang kebetulan sudah sangat akrab dengan dunia ke-unjukrasa-an. Kerabat saya ini salah satu pejabat di lingkungan hukum, yang sejak era reformasi telah mempelajari unjuk rasa dari segala sisi, bahkan melakukan penelitian didalamnya. Pembicaraan luar biasa dengannya membuka fikir saya, menggali intuisi saya, akan jawaban atas pertanyaan “ Kenapa unjuk rasa yang luar biasa dan ada dimana-mana masih terkadang tidak dan kurang efektif dalam membantu menyelesaikan masalah pemerintahan? “. Tapi tentu pengecualian untuk aksi luar biasa mahasiswa dalam usahanya menurunkan tahta mantan presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Karena mayoritas pendapat mahasiswa adalah idealism nya tentang unjuk rasa, mari kita sedikit intip sudut pandang dari orang-orang yang biasa di’unjuk-rasa’-i. Supaya nantinya, kita sebagai mahasiswa, dapat mengerti akan sudut pandang orang-orang ini, jadi nantinya kita akan berjuang dengan menggunakan syarat-syarat atau metode yang sesuai dengan pandangan orang-orang ini, supaya terjadi keselarasan antara subyek dan obyek demo. Dengan itu, insyaAllah tujuan demonstrasi itu sendiri akan tercapai, demi kehidupan bangsa dan Negara yang lebih baik.

Hasil diskusi-nya kira-kira seperti ini.

Jadi, ada tiga jenis atau komponen pendemo. Pertama, orang yang membayar suatu kelompok, bahkan mungkin mahasiswa, untuk berdemonstrasi, membela kepentingan golongannya. Biasanya, kepentingaannya sarat akan niat politis, terutama, tentu saja, kekuasaan.

Kedua, suatu kelompok demonstran yang berdemonstrasi atas bayaran. Kelompok ini bahkan bukan accidental. Menurut kerabat saya, sudah ada orang-orang yang mempunyai kekuasaan atas sejumlah massa, yang siap di order untuk kebutuhan demonstrasi, jumlah massa nya bahkan sampai ribuan.  Sungguh naas, ironis, dan miris. Demokrasi yang diperjuangkan saat reformasi. Demokrasi yang menyerahkan kekuasaan pada rakyat, malah dimanfaatkan rakyatnya sendiri untuk membolak-balik kekuasaan demi materi. Semakin-lah lengkap penderitaan bangsa ini. Bangsa yang berjuang untuk kemaslahatan rakyatnya malah dikhianati oleh rakyatnya sendiri. Menurut kerabat saya, demonstran tipe ini bahkan sering tidak mengetahui apa yang dia demonstrasi-kan , asal ikut aja katanya ^^ .

Ketiga, ini yang saya suka, kelompok demonstran yang bersih, yang memang memperjuangkan kepentingan rakyat di setiap demonstrasi-nya. Tidak ada kepentingan golongan disana, tidak ada niat politis disana.

Kesalahan sangat kentara terlihat pada pendemo tipe pertama dan kedua, dan kesalahannya sudah absolut, tidak usah kita perdebatkan lagi.

Nah, tipe pendemo ketiga lah yang seharusnya kita kaji lagi, karena tipe ini merupakan ujung tombak dari pejuang pejuang rakyat. Sebuah kelompok, pemuda, yang bersemangat gigih dengan niat yang tulus untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Lalu apa yang perlu kita kaji ? Intelektualitas.

Bahwa pendemo adalah dari kalangan mahasiswa, tidak menjamin intelektualitas dan relevansi tuntutan dari unjuk rasa itu sendiri, tidak menjamin bahwa mereka semua memahami substansi dan ‘goal’ dari unjuk rasa itu sendiri. Bahwa pendemo adalah aktivis dari akademisi, tidak menjamin bahwa substansi unjuk rasa dapat bergerak selaras dengan hukum ditinjau dari segi materiil.

Karena saya kebetulan mendapatkan kesempatan menjadi mahasiswa, mari kita bahas dari segi mahasiswa. Di kalangan saya, banyak sekali indikasi bahwa peserta demonstrasi bahkan tidak mengerti apa yang mereka perjuangkan, tidak punya alasan kuat dari aksi mereka. Dari cerita teman saya di salah satu PTN terkenal di Bandung yang di beberapa bulan pertama-nya sudah ikut demonstrasi , saya berkesimpulan bahwa salah satu alasan mereka berdemonstrasi adalah mereka merasa bahwa mereka adalah mahasiswa yang agung itu. Mereka tiba-tiba merasa jadi pejuang setelah diajak berdemo. Tiba-tiba mereka berpikir sangat kerakyatan, tiba-tiba ‘dikit-dikit’ rakyat, tanpa memikirkan substansi hakiki dan efek yang akan ditimbulkan oleh unjuk rasa itu. Hal ini yang menurut saya sangat janggal sekali. Contohnya, dia diajak aksi untuk unjuk rasa saat pelantikan presiden hasil pemilu 2009. Dia sangat bersemangat, dia mau. Alasannya, ‘ siapa lagi yang memperjuangkan hak-hak tukang sapu di jalan bila bukan kita, mahasiswa ?’ dan yang lainnya. Saya tidak menyalahkan niat tulus ini. Saya memang setuju dengan pendapat ini. Tapi apakah itu waktu yang tepat untuk berunjuk rasa ? . Hak siapa yang kamu perjuangkan saat itu ? Memang hak siapa yang telah terlanggar saat mereka baru dilantik ? Memang apa yang telah mereka lakukan ? . Saya akan sangat setuju aksi ini dilakukan , bila waktu nya tepat, bila memang sudah ada penyimpangan disana. Bukan berarti kita menunggu rakyat menderita, baru kita beraksi, bukan . Maksud saya, ayo berikan sedikit dulu kepercayaan pada pemerintah yang baru untuk melakukan sesuatu. Toh bila nantinya mereka gagal atau mengecewakan, kita berhak disana. Mungkin kami mahasiswa sudah muak dengan banyak kegagalan pemerintah, tapi mari kita coba husnudzan, kita coba berikan kepercayaan itu. Unjuk rasa tanpa substansi yang jelas dan relevan seperti ini akan sangat mempengaruhi citra mahasiswa di mata  pemerintahan, yang nantinya akan mempengaruhi sensitivitas pemerintah terhadap aksi kita. Bagaimana kalau resistensi pemerintah terhadap aksi-aksi terjadi karena kesalahan kita ? Karena unjuk rasa-unjuk rasa kita terdahulu yang tidak substansial, sehingga pemerintah meremehkan intelektualitas kita ? . Pikirkan juga pencitraan mahasiswa di mata masyarakat. Unjuk rasa yang seenaknya, anarki, tidak substansial, (bikin macet), malah membuat masyarakat under-estimate  terhadap aksi-aksi mahasiswa. Jadi bukannya stimulus masiv pergerakan yang akan ditimbulkan oleh aksi-aksi kita, melainkan tanggapan-tanggapan negative seperti “apaan sih mahasiswa” , “emang siapa sih mereka, sok pahlawan” . Kita, mahasiswa, memang punya idealisme, tapi jangan lupakan pentingnya pencritaan mahasiswa di masyarakat dan pemerintah, karena itupun mempengaruhi efektivitas unjuk rasa.

Itu tentang mahasiswa yang tak mengerti substansi unjuk rasa.

Setali tiga uang, ada juga mahasiswa yang memang sudah mencakup syarat ideal untuk berunjuk rasa, tapi kerap menuntut hal yang tidak FAKTUAL kepada oknum pemerintah, sedangkan hukum sendiri harus bersifat FAKTUAL. Menurut hasil diskusi saya dengan kerabat, dalam beberapa perkara pidana, harus di buktikan adanya unsur niat dalam melakukan tindak pidana, oleh karena itu di KUHP banyak ditulis ‘barangsiapa dengan sengaja’. Nah, oknum pemerintah, kerap menerima tuntutan yang tidak faktual dari mahasiswa. Mahasiswa menuntut untuk memenjarakan ini, menghukum mati ini, menurunkan ini, dsb. hanya dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terlihat dan dangkal, padahal perlu tinjauan hukum yang mendalam, yang bahkan seorang sarjana hukum-pun belum mampu melakukannya. Saat pemerintah tidak bisa mengabulkan dengan segera tuntutan mahasiswa, mahasiswa mengganggap bahwa pemerintah bekerja lamban, sarat unsur politis, dan pandangan negatif lainnya. Walaupun ada kemungkinan itu, tapi yang sering terjadi adalah, oknum hukum sendiri pun belum bisa membuktikan terlaksananya pidana itu, bukan menutup- nutupi. Oknum hukum sendiri pun butuh waktu untuk  menganalisis bahwa ada unsur niat dalam tindak pidana itu.

Saya tidak berani memberikan contoh kasus, tapi bisa teman-teman tinjau sendiri di kasus yang sedang hangat saat ini, dengan pansus superior nya J

Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk menyalahkan salah satu pihak atau membela salah satu pihak. Tulisan ini ditujukan agar ada kesadaran saling memahami antar komponen unjuk rasa, baik subyek ataupun obyek-nya. Karena saat terjadi keselarasan, dimana komponennya saling menghargai, proses kebangsaan akan berjalan sangat elok dan kepentingan rakyat akan terjamin, tanpa ada salah satu pihak yang dihinakan. Kita, sebagai mahasiswa, memang harus bersyukur atas posisi kita yang strategis dalam proses kebangsaan. Idealisme kita memang dibutuhkan bangsa ini untuk menjaga stabilitas kepemerintahan. Tapi, jangan terbuai dengan keagungan itu, jangan merasa dengan status ini kita-lah yang pasti benar. Sesungguhnya mereka yang dipemerintahan pun seorang intelektual, yang berpengalaman di bidangnya. Terkadang mereka lebih expert atas proses-proses yang harusnya berjalan. Kita sebagai demonstran, harus meninjau semuanya lebih dalam, bukan hanya keadaan ideal yang kita tuntut, tapi kita harus mengerti sulitnya proses itu (diluar konteks politis yang mungkin terjadi). Mari kita saling menghargai , saling menghormati, saling percaya ^^

Pasti banyak sekali kesalahan analisis dan kedangkalan fikir di tulisan ini, jadi maap yak !

Hidup mahasiswa , Jaya Negeriku, Sejahtera rakyatku , Allahuakbar !

Wallahu’alam. Semoga bermanfaat.

Kebermaknaan

•31/01/2010 • Leave a Comment

Cerita lucu, menggemaskan, dan inspiratif ini diambil dari secarik kertas di buku Larger than Life – Tony Raharjo .

Menurut saya , ini hebat ^^

Silahkan dibaca, semoga bermanfaat .

Suatu ketika, terdapatlah sebuah hutan rimba yang di dalamnya berdiri sebuah kerajaan binatang.

Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja hutan yang sangat disegani oleh seluruh penghuni hutan. Suatu hal yang wajar sebab ia gagah,berwibawa, dan kuat. Raja itu bernama singa.

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah negeri, seluruh penghuni kerajaan itu sepakat ingin memajukan hutan itu, membangunnya agar aman, tenteram, adil, dan sejahtera. Sang Raja berpikir untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan sumber dayaa binatang yang berkualitas. Ia pun berpikir, binatang yang berkualitas adalah binatang yang memiliki kemampuan seperti dirinya; tegap, kokoh, mampu berlari cepat, mengaum keras, dan sifat lain yang dimilikinya.

Lalu diseleksilah para bintangan dengan syarat seperti yang dikehendaki sang Raja. Tak selang berapa lama, diumumkanlah hasil seleksi tersebut. Binatang-binatang yang lolos dikategorikan sebagai binatang kelas satu karena dianggap mampu memberikan makna dan manfaat bagi hutan itu. Sedangkan yang tidak lolos dikatakan sebagai warga kelas dua, yang tak mampu memberi manfaat, bahkan ada yang dimusnahkan karena dianggap akan memperlambat pembangunan.

Kejadian selanjutnya, tak berapa lama, kerajaan itu justru mengalami kemunduran. Sang Raja pusing dan membuat sebuah tim investigasi untuk mencari tahu penyebab kemunduran negerinya. Tim itu diketuai oleh kancil yang selama ini terkenal cerdas, dibantu oleh burung hantu yang pandai,

Investigasi pun berlangsung hingga tibalah hari untuk membacakan hasil temuan tim investigasi di lapangan kepada sang Raja. namun, saat itu, yang hadir ternyata hanya sang kancil. Setelah lama ditunggu, burung hantu tak kunjung tiba. Akhirnya dimulailah pertemuan itu. Masalah kembali terjadi saat kancil tak bisa membacakan hasil temuannya karena terserang radang tenggorokan. Dengan kesal, akhirnya Sang Raja membaca sendiri hasil temuan tim investigasi.

Simpulan dari hasil tim investigasi tentang sebab kemunduan kerajaan adalah karena tidak semua warga kerajaan diberikan kesempatan untuk memberi makna atas diri dan hidupnya sendiri. Mungkin memang seekor burung dapat berlatih untuk bisa berlari cepat. namun, bukankah maknanya akan lebih terasa jika burung itu tetap terbang dan memberikan maknanya lewat kemampuannya terbang .

Hal itu pun dirasakan oleh warga hutan lainnya. Mereka mencoba memenuhi syarat kebermaknaan yang ditentukan Sang Raja, yang pada akhirnya mereka justru kehilangan kebermaknaan dirinya sendiri. Tak berapa lama, burung hantu datang sambil meminta maaf atas jeterkabatannya. Sang Raja tersenyum dan mengerti mengapa burung hantu datang terlambat Ya, karena burung hantu datang ke tmpat pertemuan itu dengan berlari, bukan terbang. Ia pun melirik si Kancil yang masih mengelus-elus tenggorokannya karena lelah belajar mengaum. Tak ada batas syarat untuk dapat memberi makna, siapa pun dia, kecil-besarkah, cepat-lambatkah, hitam-putihkah semua memiliki makna sendiri-sendiri. Itu pelajaran yang bisa diambil oleh Sang Raja

Jadi , tidak ada batas minimal untuk teman-teman memberikan makna pada hidup, baik untuk pribadi atau orang lain . Setiap kita pati memiliki kekurangan, bukan berarti setiap dari kita tak mampu nmemberikan makna . Kita harus dapat dan memberikan makna dalam segala kekurangan kita , itulah yang Islam ajarkan .
Wallahu’alam

Demam ‘pengabdian’ dan ‘kepemimpinan’

•31/01/2010 • 2 Comments

Demam ‘pengabdian’ dan ‘kepemimpinan’

Mengabdi dan pemimpin, dua kata ini sedang ‘booming’ dan ‘menggerayangi’ pemikiran saya, dan kelihatannya teman-teman sejawat (baca:angkatan2009) saya. Kalau di SMA, dua kata ini tampaknya santer terdengar pada teinga teman-teman yang aktif di organisasi. Tetapi, atas peran program pembinaan dan kaderisasi yang luar biasa di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dua kata ini rata ter-injeksi ke pemikiran-pemikiran mahasiswa, bahkan yang belum aktif berorganisasi.

Bagaimana ini terjadi ? Menurut saya, begini.

Ya, lihat saja Centromere. Walaupun teori psikologis menyatakan bahwa tekanan dengan gertakan dapat menstimulasi rasa memiliki dan kebersamaan, Centromere meyakini kedewasaan pesertanya. Keyakinan ini, menurut saya, secara tidak langsung memicu kedewasaan dari diri yang bahkan sama sekali belum dewasa. Dan dengan metode ini, Centromere berusaha menanamkan banyak nilai-nilai yang tidak biasa, yang tidak ditemukan bila kamu hidup tanpa pemikiran ekstra yang lebih MENGGALI ditambah filosofi yang MENGIGIT.

Nah, disinilah letak starting point nya.

Calon mahasiswa mulai dapat memaknai beberapa aspek di hidupnya secara lebih dalam, jadi selain mendapat inspirasi luar biasa, mahasiswa pun semakin terstimulasi untuk menemukan makna-makna lain dalam hidup setelah mengetahui ada ‘hal semacam itu’ di dunia ini (ini pemikiran orang awam seperti saya) . Disinilah peran penting Centromere sebagai Inisiator . Di poin ini-lah kata kepemimpinan mulai memasuki dan intens ‘menggerayangi’ pemikiran saya. Tapi belum sepenuhnya saya pahami, karena saya berpikir, saya menganggap  ini penting karena sugesti . Ya, karena saking seringnya disebut di materi , ini menjadi semacam hal yang penting . Sugesti .

Dilanjutkan dengan apa ??

Ya, MABIM.

Materi mabim lebih ‘organisasi’ dari centromere. Disini, yang saya tangkap, banyak penekanan pentingnya kontribusi kita ke lingkungan sekitar, yang sering disebut pengabdian.  Dan juga sering disebut kepemimpinan disini. Walaupun pada dasarnya MABIM adalah program pembinaan yang materinya berisikan persiapan-persiapan organisatoris. Jadi, sekali lagi, walaupun tidak diberikan definisi dan pendalaman yang jelas mengenai pengabdian dan kepemimpinan disini, kami peserta MABIM, tersugesti untuk apa yang disebut mengabdi dan memimpin, karena kedua hal ini sangat sering disebut di rangkaian materi. Sekali lagi, ini pendapat saya, dan yang saya terima.

Jadi apa intinya ?

Intinya, selama beberapa waktu, pengabdian dan kepemimpinan adalah suatu hal semu yang ‘keren’, yang tidak dipahami secara komprehensif, intensif, dan mendalam, tapi menjadi suatu hal yang ‘saya harus dan akan seperti ini’ karena sugesti.

Ya, menjadi sugesti karena sering disebut di rangkaian acara pembinaan. Walaupun saya yakin panitia sudah memenuhi betul apa makna kedua kata itu, tapi yang saya terima di beberapa waktu pertama, tetap, bukan pemahaman, tapi sugesti.

Jadi, karena sugesti inilah, selama beberapa waktu pula, di pikiran saya berkutat, sayalah pengabdi, mahasiswa yang superior itu. Mahasiswa yang memberikan banyak manfaat pada lingkungan sekitarnya. Dan saya juga harus jadi pemimpin, apapun definisi pemimpin, bahkan mungkin hanya karena itu keren, dan lebih hina-nya lagi, karena memimpin = amanah = jabatan.

Tapi, seiring berjalannya waktu, semakin saya sadari betapa naïf-nya saya .

Di pikiran saya terus bergulir kata mengabdi dan memimpin .

Tapi belum ada tindakan berarti kesana, bahkan tinjauan pikir yang lebih ke arah itu.

Jadi , apa sih pengabdian dan kepemimpinan itu ?

Pengabdian. Menurut saya, kata pengabdian atau kontribusi sekalipun,berada di level yang terlalu atas untuk diberikan sebagai materi pembuka. Materi pembuka yang diberikan pada mahasiswa yang sebagian belum berpengalaman berorganisasi (saya contohnya). Kedua kata ini terlalu abstrak untuk dihayati. Mengabdi dan kontribusi pasti akan terbayangkan sebagai tindakan yang sudah luar biasa partisipatif dan suportif pada sesuatu. Tidak akan terbayang sebagai suatu tindakan sederhana (yang walaupun partisipasi dan suportnya kecil, sudah bisa dikatakan kontribusi). Keluarbiasaan inilah yang malah menghambat penyerapan esensi-nya. Karena kita, mahasiswa baru, akan memulai semuanya dari 0 (baca:ENOL). Tapi saya maklum, karena materi ini diberikan akang2-teteh2 yang sudah sangat berpengalaman di organisasi. Jadi jangkau fikirnya sudah agak jauh, terutama dengan orang buta organisasi seperti saya.

Kata berkarya menurut saya kata yang terbaik untuk menjelaskan semua ini ^^ .

Ya, berkarya. Kata berkarya akan diilustrasikan sebagai tindakan sekecil apapun yang memberikan manfaat. Walaupun sebenarnya pengabdian-kontribusi-berkarya berada dalam satu jalur. Tapi, mari kita pakai analogi .

Kita, mahasiswa baru, adalah atlit angkat besi pemula . Pengabdian adalah beban 100kg , kontribusi adalah beban 80kg , dan berkarya adalah beban 30kg .

Intinya sama , mereka semua adalah beban. Tapi yang mana yang paling mudah diangkat si atlit pemula? Tentu saja yang 30kg. Mungkin sekarang mereka belum bisa mengangkat beban 100kg, tapi suatu saat mereka pasti bisa, dengan terlebih dahulu latihan dengan beban yang lebih ringan .

Ya, kira-kira seperti itu analoginya. Jadi walaupun esensinya sama, perlu tingkat-tingkat penerimaan yang sesuai diantara beban-beban itu, supaya si pengangkat beban akhirnya bisa mengangkat beban terberat dengan sempurna .

Lalu, kepemimpinan.

Kalau yang satu ini, bukan masalah pemilihan kata yang tepat, tapi pencarian makna yang tepat.

Untuk kata yang satu ini, banyak definisi dari orang-orang terkenal, tapi saya belum puas. Seolah-olah ada yang harus saya temukan di satu kata ini.

Ada yang bilang ‘kepemimpinan adalah masalah pengaruh, tak kurang tak lebih’ . Apakah ini benar ya ? Is it that simple ? Cuman pengaruh ?

Setelah beberapa lama mencari, akhirnya stuck juga. Saya berpikir, yasudahlah, apa arti sebuah kata, yang penting saya sekarang fokus mengembangkan diri, melatih skill dan kepercayaan diri, sehingga nantinya bisa mengarahkan apa-apa yang diamanahkan oleh saya ke arah yang lebih baik. Dan apa-apa yang saya pimpin bisa menyukai saya, menghormati saya, bukan mengikuti saya karena takut dan terpaksa.

Itulah definisi praktis saya mengenai kepemimpinan.

Sampai suatu saat, saya membuka salah satu buku lama saya.

Ceritanya, bagaimana proses pemilihan khalifah selanjutnya, setelah Rasulullah SAW wafat.

Orang-orang berkumpul untuk menentukan siapa khalifah selanjutnya. Akhirnya diputuskan Abu bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah selanjutnya, walaupun tak didukung oleh seluruh partisipan. Ada yang menganggap Ali lebih pantas. Setelah terpilih jadi khalifah, Abu bakar memberikan pidato perdananya .

Kutipan pidato berikut langsung disalin dari buku Lost History karya Michael Hamilton Morgan.

‘O men! Here I have been assigned the job of being a ruler over you while I am not the best among you. If I do well in my job, help me. If I do wrong, redress me. Truthfulness is fidelity, and lying is treason. The weak shall be strong in my eyes until I restore to them their lost rights, and the strong shall be weak in my eye until I have restored the rights the weak from them ‘

Ternyata, Islam memang sempurna.

Jauh-jauh saya mencari makna kepempinan yang memuaskan fikir saya ke orang-orang barat sana, filosofis yunani disana, tapi tetap jawaban terbaik saya temukan dari sahabat Rasulullah SAW, penganut muslim yang taat ^^

Ya, ternyata itulah yang melambangkan kepemimpinan, bukan sekedar pengaruh. Pemimpin tak harus yang terbaik dari kelompoknya. Pemimpin sejati adalah yang meminta bantuan kelompoknya untuk meluruskannya. Kepemimpinan sejati adalah jiwa dimana kita ingin memberi keadilan yang terbaik bagi kelompok kita, ada CINTA disana. Jadi, bukan hanya pengaruh. Tapi CINTA . Unsur kepemimpinan sejati yang vital adalah CINTA.

Mungkin tulisan ini bagi sebagian orang kurang bermakna, dan ‘ga penting’. Tapi, bagi orang seperti saya yang akan mencoba meniti karir keorganisasian, makna dua kata ini begitu penting untuk diresapi. Karena disinilah semua berawal. Disini fondasinya. Semegah apapun bangunan yang kelak kita buat, akan goyah tanpa fondasi yang kokoh. Semoga semua bermanfaat. Semoga dengan tulisan ini kita sama-sama menyadari, pentingnya DETAIL dalam berkarya, dalam memimpin. Pentingnya makna sebuah kata dimana kita akan aktif didalamnya, kita resapi, supaya yang kita perjuangkan kedepannya beresensi, bermakna, dan bermanfaat.

Wallahu’alam. Alhamdulillah. Semoga bermanfaat.

Hello world!

•31/01/2010 • 1 Comment

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!