Selepas membaca buku “ Belajar dari Dua Umar “ atas perintah mentor saya, saya mendapat beberapa pencerahan dan tambahan rasa kagum terhadap Islam, khususnya terkait hal kepemimpinan.
Seperti curcol saya di posting-an blog sebelumnya mengenai demam ‘kepemimpinan’ di beberapa sejawat, lagi-lagi kebesaran Islam memuaskan dahaga saya akan pengetahuan yang hakiki tentang kepemimpinan. Bukan dari filsuf Yunani itu. Bukan dari kaisar-kaisar itu. Bukan dari Napolleon. Bukan dari orang-orang yang definisi kepemimpinannya sering disebutkan di pelatihan-pelatihan keorganisasian. Tapi ini Islam bung, rahmatan lil’alamin, dengan Rasul dan khalifah-khalifah sesudahnya. Subhanallah 😀
Kira-kira begini yang saya lahap dari buku ini.
—————————————————————————————————————————————-
Pertama-pertama, haruslah kita ketahui betapa dua umar, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, telah menelurkan pelajaran berupa tiga nilai kepemimpinan yang sederhana, tapi memang ‘pemimpin banget’ kalo diimplementasikan, yaitu kesederhanaan, keteladanan, dan al-itsar.
Kesederhanaan. Kesederhanaan menjadi penting saat ini, karena memang kondisi ekonomi yang tak merata di masyarakat terlanjur menjadi kenyataan. Pemimpin yang sederhana, yang tak gila oleh gelimang harta karena jabatannya, minimal dapat mengerti apa yang rakyat “termiskin”-nya rasakan, sehingga dalam menjalani amanahnya, si pemimpin akan bertindak adil dan peduli. Selain itu, kesederhanaan seorang pemimpin akan menjaganya dari penyimpangan niat atas amanahnya, apalagi terkait harta dan kekuasaan. Dan niscaya, pemimpin yang sederhana akan dicintai pengikutnya, sehingga dalam menjalani kepemimpinannya si pemimpin akan sangat dimudahkan, karena yang dipimpinnya mencintainya, subhanallah 😀
Keteladanan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menyeru pada kebaikan. dan cara terbaik untuk menyerukan kebaikan adalah dengan melakukannya. Penyeru kebaikan harus jadi orang pertama yang melakukan kebaikan itu. Mungkin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan saat ini, salah satunya, adalah kurangnya keteladanan dari para pemimpinnya.
Al-itsar. Al-itsar atau mendahulukan kepentingan orang lain, ini pemimpin ‘pisan’. Dikisahkan, sewaktu menjadi khalifah, Umar bin Khattab sering ‘sidak’ malam-malam untuk memastikan bahwa rakyatnya dalam keadaan aman, berkecukupan, dan taat. Ini salah satu bentuk al-itsar, karena khalifah Umar lebih mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang keperluan istirahatnya.
Dikisahkan pula , suatu ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan di masa pemerintahan Umar bin Khaththab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Sang gubernur menerima makanan itu, makanan bernama habish yang terbuat dari minyak samin dan kurma. Saat mencicipinya, sang Gubernur menyunggingkan senyum seraya berkata “Subhanallah!, betapa enak makanan ini, tentulah kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab di Madinah, dia akan senang,” Kemudian, dikirimlah makanan itu ke khalifah Umar. Setelah sampai, Umar menananyakan nama makanan ini dan memastikan apakah makanan ini telah bisa dinikmati semua rakyat Azerbaijan. Saat utusan Gubernur berkata bahwa tidak semua rakyat Azerbaijan bisa memakannya, wajah khalifah Umar memerah seraya memerintahkan kedua utusan itu kembali ke negerinya, dan dia menulis ,”…Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu” .
Kalimat terakhir luar biasa yaa. Kalimat terkahir menunjukkan betapa harusnya pemimpin harus mengutamakan siapa-siapa yang dipimpinnya. Bukan sekedar pemimpin struktural yang berwewenang, tapi pemimpin sejati idealnya merasakan apa yang rakyatnya rasakan, bahkan mendahulukan rakyatnya. Yang penting rakyat senang, asal masih dalam batas yang tak melenceng dari agama.
Sifat zuhud keduanya pun luar biasa. Umar bin Abdul Aziz menolak kendaraan mewah untuknya, dan memilih menunggangi keledai tunggangannya selama ini. Beliau pun memilih menolak pengawalan ekstra untuknya. Mungkin zuhud dan kesederhanaan inilah yang membuat mereka dekat dengan rakyat. Kedekatan ini akan membuat mereka mencintai rakyatnya, dan akan merasakan penderitaan mereka. Rasa ini yang akan melipatgandakan semangat juang untuk memimpin dengan baik, sehingga mereka dicintai rakyatnya.
Selain tiga nilai dasar di atas, buku ini juga menyuguhkan karakter-karakter kepemimpinan yang sederhana tapi penting. Karakter-karakter kepemimpinan yang memang saat ini dibutuhkan. Disaat situasi sedang labil, saat perbedaan ada diimana-mana, saat pemerintah tak lagi menyentuh hati rakyatnya, saat pemimpin terlalu mendewakan kekuasaan.
Pertama, menentukan sikap. Dikisahkan tentang mimpi Rasulullah menjelang perang Uhud, firasat bahwa kaum Muslimin seharusnya bertahan di dalam Madinah. Tetapi saat musyawarah, para sahabat menginginkan kaum muslimin melawan kaum musyrikin ke luar Madinah. Karena keputusan syuro berkeduduka tertinggi, Rasulullah SAW menyetujui pendapat bahwa kaum Muslimin akan menyerang ke luar, merelakan pendapat-nya sendiri. Setelah shalat Ashar, beliau memasuki rumahnya, memakai sorban dan baju perang. Tetapi, masalah baru muncul, beberapa ahabat merasa bersalah telah membuat Rasulullah merelakan pendapatnya dikalahkan oleh keputusan syuro. Tapi, dengan tegas Rasulullah menyatakan “Seorang nabi jika sudah mengenakan baju besi, maka ia tak patut melepaskannya, sampai Allah meberi keputusan antara dia dan musuhnya”. Dan akhirnya kaum muslimin pun berangkat, meski mengalami kekalahan.
Kisah di atas kurang-lebih menggambarkan pentingnya karakter seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus konsisten pada keputusan yang dia ambil, selama proses pengambilan keputusan tidak melenceng dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari hasil apa yang akan diperoleh, terlepas dari ideal/tidaknya keputusan yang diambil, konsistensi seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan nampaknya penting. Pertama, penting untuk kejelasan arah komando, sehingga apapun keputusan yang diambil, semua akan melaksanakan sepenuh hati dan fokus karena tak terjadi perubahan dan kebimbangan yang meluas. Kedua, penting untuk pencitraan pemimpin di mata rakyat-nya. Walaupun terkesan permukaan, tapi tak dapat dipungkiri pencitraan memang penting, karena pemimpin yang dicintai dan disuport rakyatnya akan jauh lebih mudah menularkan pengaruh dan melaksanakan amanah mereka. Tapi memang, perlu ada pertimbangan yang ekstra ya akan suatu keputusan ? Di cerita ini, jelas, Rasulullah memilih menyerang ke luar Madinah karena itu keputusan syuro, keputusan dengan kedudukan tertinggi. Semua akibatnya akan ditanggung bersama, tapi yang penting kaum Muslimin melaksanakannya dengan sepenuh hati karena buah keteguhan Rasulullah dalam mengambil keputusan. Kalaupun perubahan keputusan harus terpaksa dilakukan, harus ada penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai perubahan itu. Jadi, intinya, dari awal pemimpin harus menjalankan proses pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, lalu dilanjutkan dengan keyakinan dan keteguhan atas keputusan yang telah diambil itu, bukan mencari pembenaran bila ada kesalahan, tapi teguh atas pertimbangan faktual yang ada.
Kedua, piawai mengelola perbedaan. Dikisahkan, ketika menghadapi 70 tawanan perang Badar, Rasulullah dan sahabat berbeda pendapat tentang apa yang akan dilakukan kepada tawanan-tawanan itu. Abu Bakar ash-Shiddiq berpendapat, tawanan itu dibebaskan dengan pembayaran uang tebusan dari keluarganya, dan pendapat ini didukung mayoritas sahabat. Umar bin Khaththab tak setuju, beliau menginginkan tawanan dipancung untuk menunjukkan pada Allah SWT bahwa mereka tidak menaruh belas kasihan pada gembong-gembong kaum musyrikin. Pada akhirnya, karena rasa belas kasihan Rasulullah, tawanan dibebaskan dengan tebusan 1000-4000 ribu dirham, dan yang tak mampu diwajibkan mengajar membaca dan menulis pada 10 pemuda Madinah. Tentu saja keputusan ini tak didasarkan pada kegilaan materi , tapi lebih ke belas kasihan dan atas dasar ijtihad Rasulullah dengan sahabatnya, terutama melihat keadaan sahabatnya yang serba kekurangan, walaupun akhirnya hikmah ilaiyah menegur Rasulullah atas keputusannya (Q.S al-Anfal:67-68). Tegurannya bukan melarang rasa belas kasihan, tapi mencegah munculnya kecenderungan mengejar harta.
Walaupun banyak nilai yang bisa diambil, tapi yang saya garis-bawahi adalah kemampuan Rasulullah memberikan solusi atas perbedaan pendapat yang sangat timpang, terutama pendapat itu dikeluarkan oleh dua sahabat terdekat Rasulullah, dan pendapat keduanya bisa dibilang tak salah. Sekali lagi, dengan menggunakan proses pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan lewat ijtihad, dan dengan terus memegang prinsip kebaikan, Rasulullah mengambil keputusan yang baik bagi semua, disetujui oleh semua, bahkan oleh Umar yang keras dan tegas.
Nyatanya, perbedaan pendapat pasti selalu ada di suatu forum, kelompok, organisasi, angkatan, bahkan parlemen. Pemimpin-lah yang berkewajiban me-moderator-i itu. Pemimpin-lah yang bertugas memastikan majelis memutuskan hal yang terbaik bagi semuanya. Dan walaupun sulit, idealnya, keputusan yang diambil akan disetujui penuh bahkan oleh pihak yang semula menentangnya. Hmm, kalau bicara masalah teknis saya kurang tau ya, pengalaman saya sangat kurang. Yang jelas, menurut saya, prinsipnya adalah lagi-lagi musyawarah dan pencitraan. Dalam pengambilan keputusan, masing-masing pihak harus bisa melepaskan ego-nya untuk mendengarkan pendapat lain, untuk menerima kelebihan pendapat lain, dan akhirnya mau saling membuka hati untuk bermusyawarah. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi ? Disini pencitraan pemimpin penting berperan. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin bijaksana yang memang terlihat bijaksana di hadapan majelis-nya, seperti Rasulullah. Apakah hati Umar yang tegas akan luluh bila pemimpin musyawarah bukan Rasulullah memang pendapatnya yang terbaik dan dipandang terbaik oleh Umar sendiri ? Saya rasa tidak. Pemimpin bagaimanapun memerlukan wibawa itu, memerlukan respek itu, dan memerlukan kebijaksanaan itu. Susahnya yaa jadi pemimpin hebat ? . Memang iya . Dan untuk mencari teladan-nya, ga usah jauh-jauh ke Eropa atau Yunani, Rasul kita sendiri contoh terbaiknya, bung.
—————————————————————————————————————————————–
Nilai kepemimpinan Rasulullah SAW beserta para sahabat memang teladan yang luar biasa. Bisakah kita mendekati atau bahkan menjadi seperti itu ? Walaupun sulit, sudah sepantasnya tiap dari kita bermimpi menjadi seperti itu. Tapi ingat sahabat, mimpi bukan hanya bisa mengobarkan semangat, tapi juga bisa menyeret kita ke jurang kemudharatan.
Dikisahkan pada suatu waktu menjelang perang Ahzab, penggalian parit terpaksa dihentikan karena terhadang oleh batu yang sangat besar. Berkali-kali sahabat menghantamkan lembing, tetapi gagal. Tapi batu itu harus dihancurkan, karena dapat menganggu pembangunan bentng yang akan melindungi kaum Muslimin dari ancaman pasukan Musyrikin. Rasulullah SAW pun datang setelah dipanggil beberapa sahabat, dengan membawa beliung. Dan setelah membaca basmalah beliau menghantamkan pukulan pertama. “Allahuakbar! Aku diberi kunci pembuka negeri Syam. Demi Allah, aku melihat istananya yang merah,” ujar Rasulullah. Lalu, Rasulullah SAW menghantamkan pukulan kedua. “Allahu Akbar! Aku diberi negeri Persia. Demi Allah, aku melihat istananya yang putih,” ujar Rasulullah lagi. Lalu, beliau menghantamkan pukulan ketiga. “Allahu Akbar! Aku diberi kunci negeri Yaman. Demi Allah, aku enar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini. Aku diberitahu Jibril bahwa umatku akan menguasai semuanya. Sampaikan berita inni kepada yang lain,” ujar Rasulullah SAW kepada sahabat.
Apa artinya ? Cita-cita memang penting, kita harus bermimpi setinggi mungkin. Lihat saja Rasulullah, beliau meneriakkan bahwa Muslim suatu saat akan meruntuhkan Persia dan Romawi supaya teriakan itu terpatri di benak kaum muslimin, untuk menjadi mimpi mereka, untuk menjadi pengobar semangat mereka. Tapi mereka tak melupakan langkah konkrit kecil untuk mencapai semua itu, dibalik semua mimpi besar yang terucap, mereka terus menggali parit untuk membuat benteng perlindungan dari seranga paukan Ahzab. Dibalik semua mimpi besar di masa depan itu, mereka tak lupa melaksanakan langkah-langkah konkret kecil untuk saat ini.
Dan jangan lupakan apa yang Imam Maliki katakan, al-‘Ilmu yu’ta ilaihi wa la ya’ti (ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi) . Terus semangat mencari ilmu untuk menggapai keteladanan itu kawan. Terus tanpa lelah merasa bodoh dan mencari tahu tentang keteladanan itu.
Cerita sebuah keteladanan memang kerap membuat semangat kita menggebu-gebu untuk menjadi seperti-nya. Tetapi juga kerap membuat kita terlalu asyik mengagumi-nya, sehingga lupa untuk berbuat sesuatu supaya kita bisa menggapai keteladanan itu. Semoga kita bukan termasuk orang yang lalai, Amin .
Semoga bermanfaat.
Komen !